Well, cewek mana yang nggak bisa berhenti senyum ketika cowok yang mereka suka tiba-tiba ngajakin jalan. Guess it, gue nggak bisa diem aja gitu waktu Dio ngirimin gue SMS itu. Tapi, sedikit jual mahal boleh lah, nggak mau juga, kan, dibilang mureh. Hell, No! Jadi, yang gue lakukan sekarang adalah berpikir bagaimana gue harus balas pesan Dio.
'oke.'?
'Nggak mau.' No, malah yang ada gue batal diajak Dio lagi. Hapus, hapus, hapus.
Hmm.. Ah, nggak tau! Mending gue nggak usah bales. Eh, lagi pula tadi dia udah bilang kalau dia anggep jawaban gue iya, kan? Ya sudah, nggak perlu repot balas lah. Euh! Kayak gue lagi panen bunga di hati gue deh! Rasanya adem, sejuk, seneng, geli, gimana gitu. Ew, alay juga ya gue.
Hah, gerah! Gerah! Gerah! Gue mau keluar aja, taman belakang pasti sepi tuh, nggak ada juga temen-temen Dio yang mau ke taman belakang yang maram-maram gitu.
Tuh, kan, bener! Kosong. Nah, kalau duduk gini, kan enak duduk di tepi kolam renang yang kena cahaya kuning dari lampu taman gini. Sebelum gue ke taman belakang juga gue udah bawa sepiring cemilan-cemilan yang Tante Dina siapin buat gue. Ya, yang seperti gue bilang, gue kayak anak kesayangan deh.
Hhhh... Helaan napas gue nggak bagus bener sih. Anggaplah gue sedang menghela napas karena tiba-tiba ingat kenangan gue waktu kecil ya. Saat itu masih ada Kak Roy, kakak gue satu-satunya yang sekarang berada di Belanda (kerja gitu deh. Gue lupa dia kerjanya apaan, soalnya jarang pulang ke Indonesia sih!). Gue sering banget main ke rumah DIo dengan Kak Roy, nggak siang, nggak malam, sampai gue pernah dimarahin sama Papa karena keseringan main sampai nilai gue anjlok.
Dio yang waktu itu, sama seperti Dio sekarang. Dio yang ceria, Dio yang suka main comot makanan gue, yang sering manggil gue dengan sebutan 'tokek', yang gue suka lah, tapi gue juga suka Dio yang cold. Dio yang cold itu bikin gue jatuh hati, bukan berarti Dio yang ceria nggak bikin gue jatuh hati. Hah! He drives me crazy, seriously!
Ini bisa nggak sih gue nggak usah mengingat masa manisnya gue waktu kecil. Gue jadi kangen sama Kak Roy kalau gini caranya. Kak Roy, kapan sih dia balik? Udah kayak Bang Toyin aja sih, tiga kali puasa tiga kali lebaran si abang nggak pulang. Ini beneran udah tiga tahun Kak Roy belum balik ke Indonesia semenjak ia direkrut sama perusahaan Belanda dan ditempatkan di kantor pusatnya, Amsterdam.
"Hoi!" SETAN! Gue kaget banget, ya Tuhan. Ini siapa sih yang rese banget ngagetin gue yang lagi duduk manis di tepi kolam ala putri duyung gini?!
"Ngapain lo sendirian main air? Belom mandi lo? Mau gue mandiin sekalian?"
"Mati aja gue daripada dimandiin sama genderuwo kayak lo!" Percaya atau enggak, gue nggak benar-benar serius ngomong ini ke Dio. Di dalam otak gue yang paling mesum, gue rela deh dimandiin sama Dio (ps: asal nikah dulu ya!). Eh, kok gue ngomongnya ngeri gini ya? HUSH!
"Alah, jangan munafuck deh lo, Ge, lo sebenernya mau, kan, gue mandiin. Kayak jaman....."
"NGGAK!" Gue memutus kalimat Dio, yang gue nggak mau denger lanjutannya karna sumpah demi apapun, itu sangat memalukan. "Udah ah, lo ganggu ketenangan gue tau nggak! Lo balik sama temen lo aja sana!" Yang gue suruh balik ke gerombolan dombanya malah senyum-senyum sendiri sambil naruh pantatnya di sebelah gue. Ini anak emang beneran keras kepala, by the way.
Hening selama seabad. Eh, enggak deng, cuma beberapa menit aja kok. Sebelum gue akhirnya memilih untuk buka suara lebih dulu, memenuhi dahaga penasaran gue. "Lo ngapain malah parkir pantat di sini?" Bukan maksud gue ngusir, lho. Semoga dia nggak ngerasa terusir deh.
"Kenapa emang?" Ih, suaranya dingin banget. Gue jadi takut.
"Eng.. Enggak, cuma tanya doang." Hening lagi. Ini kenapa dia nggak mau ngomong lagi sih? Emang lagi hemat suara ya? Cih! Andai mulut gue bisa secerewet hati gue gini ya, seneng kali gue udahan, nggak perlu nungguin Dio gerakin bibir dan menggerakan otot pita suaranya buat ngeluarin suara.
Kali ini gue bete berat. Bete berat, saudara-saudara. Gue pingin ngalahin suara jangkrik yang lebih keras suaranya daripada dua onggok manusia yang salah satunya sedang menunggu salah lainnya untuk buka suara. Hell! Masa kita mau kalah sama suara jangkrik yang notabenenya hewan kecil tak berdaya gitu sih, Di? Lo pingin gue mati lumutan gitu ya? Heuh!
"Euh, Di. Gue balik dulu, deh. Udah malem, nggak enak sama Mama yang nungguin." Dio akhirnya menoleh ke gue, vroh! Tapi dia masih nggak mengeluarkan suara 'emas'nya yang sering bikin gue meleleh tanpa sebab itu. Tapi, dia malah......
"Duduk di sini dulu aja. Gue udah minta Mama buat bilang ke Tante Fio kalau lo di sininya sampai syukurannya selesai." Euh, gue masih nggak bisa bilang ini pesta sebagai syukuran ya. Oke, lupakan kalimat gue barusan. Gue nggak salah dengar lagi, kan? Ini malem kenapa telinga gue mendadak dengar kalimat-kalimat aneh yang seumur-umur jarang banget gue denger ya, apalagi ini yang ngomong adalah si pangeran berkuda putih (baca: mobil Toyota 86 wana putih). Gue cengo setengah idup, man!
"Udah malem, Di, gue nggak enak sama Mama."
Nggak ada angin, nggak ada hujan, kunci rumah gue udah berada di tangan Dio. Seinget gue, Dio nggak pernah yang namanya belajar di Hogwarts ya, orang nyebutin wingardium leviosa waktu nonton Harry Potter aja nggak pernah bener.
"Gue barusan ke rumah lo, ngambilin ini kunci. Tadi Tante Fio telpon Mama, katanya gue suruh ambil kunci rumah yang ketinggalan. Tante Fio udah coba ngehubungi lo, tapi ponsel lo mati katanya. Makanya gue yang ambil kunci rumah lo." Gue cuma bisa ngangguk-angguk kayak boneka anjing yang Mama beli di pinggir jalan. Mau nggak mau gue harus tetap tinggal di sini sampai pesta selesai demi menghargai Dio yang udah mau capek-capek ke rumah gue cuma buat ambil kunci rumah gue.
***
Mati gue! Gerbang sekolah udah mau ditutup. Pak Marto, satpam sekolah, udah nutup setengahnya. "PAKKKK! Tunggu!" Gue lari sekencang yang gue bisa. Pak Marto yang ngelihat gue lari macam banci kaleng yang akan kena razia itu pun geleng-geleng.
"Aduh, non, besok jangan telat mulu ya. Bapak sudah kena marah karena sering ngasih jalan buat non." Ihihihi aduh, jadi nggak enak sama si bapak nih gue. "Iya deh, Pak, maafin Gea, ya, Pak. Gea masuk dulu ya, Pak. Makasih!" Sebelum tertangkap satpol PP a.k.a guru BP, gue harus sudah berada di lapangan sekolah, zona aman sekaligus zona bahaya.
"Jangan jalan di pinggir lapangan gitu!" Buset dah, itu orang kenceng banget sih suaranya, udah kayak bicara pake toa di telinga gue saja. Gue udah kenal sama suara yang satu ini, suara yang kemarin sore bikin telinga gue mendadak budeg juga. "Iya, Luna ma babeh! Lama-lama mulut lo gue jahit juga, Lun!"
"Hihihi!" Hahihahi. Gue, dengan niat sepenuh hati, langsung mencibir Luna yang cuma cengengesan di samping gue.
"So, apa yang terjadi semalam?" Ini anak tahu aja sih. Ma besti banget lah lo, Lun!
"Apa ya? Mau tahu aja sih lo!"
"Ceritain, monyet!" Gue belum bilang ya, kalau gue punya banyak sebutan di sekolah. Sepertinya gue mewakili seluruh penghuni ragunan deh.
"Hmm.. Lo nanti juga tahu kok, sabar aja ya!" Gue lagi seneng bikin Luna penasaran nih. Dan ekspresi cemberut Luna berhasil bikin gue ngakak nggak ketahan sampai di kelas.
Suka, suka, suka, gue suka banget sama hari ini! Pertama, gue nggak jadi telat karena sewaktu gue masuk ke kelas, Bu Endang belum menunjukkan batang hidungnya dan ternyata hingga bel pergantian pelajaran beliau nggak masuk, katanya adiknya baru nikahan. Secara, sabtu gini ya, tanggal bagus lagi. Kedua, trik gue bikin Luna penasaran itu berhasil. Ketiga, gue nanti sore bakal nonton sama Dio. YAY for those things.
But, sadly. Gue juga punya cerita nggak enaknya hari ini.
"Heh, Geageo! Lo bisa nggak sih, nggak kecentilan sama yayang Dio?! Enek liatnya tahu nggak lo!" Hela napas sesaat. Ini nih yang nggak gue sukanya hari ini, sebenarnya setiap hari sih. The drama queen, Cantika. Hell, orangnya nggak secantik namanya, apalagi perangainya. Aduh! Lo bakalan serasa sedang di neraka begitu lo lihat orangnya. (Alay wannabe)
Gue nggak menanggapi omelan cewek yang gue sangsikan feminimannya, secara dia manggil gue udah seperti preman yang suka ngetem di sudut pasar tahu nggak. Gue anggap lalu saja sambil gue makan bekal yang Mama siapkan tadi pagi.
"Helow! Anak sok cantik yang sebenernya mendekati kata cantik aja enggak." Hmm, telur gulung yang rasanya lumayan enak mendadak jadi super duper enak.
"Lo dengerin gue nggak sih?!"
"Enggak. Ngapain gue harus dengerin lo. Kayak nggak ada kerjaan lain aja." Sip. Gue senang dengan pilihan kalimat gue ini. Saking senangnya gue, sampai kecepatan makan gue bertambah. Oh, itu sebenernya gue pingin cepet pergi aja dari hadapan nenek lampir ini.
"Cih! Sok sokan banget sih lo. Pokoknya lo nggak boleh deketin Dio! Dio cuma punya gue!" Sakit telinga gue ternyata belum sembuh juga dari tadi malam ya. Apa gue harus ke dokter THT? Too much, obatnya kayaknya cuma satu. Singkirkan mulut si nenek lampir ini dari hidup gue.
"Gue nggak pernah tahu kalau Dio udah punya pacar." Bisa gue lihat dari tatapan mata ayam gue, Si Cantika melotot parah, matanya seperti mau keluar gitu.
"Dio itu punya gue. Titik!" Gue mengendikkan bahu. Terserah aja dia mau ngomong Dio punya dia kek, punya temennya kek, bukan punya siapa-siapa. Gue nggak peduli. Yang gue peduliin adalah nanti gue bakal nonton sama Dio. Apa jadinya, ya, kalau aku mengiriminya pesan misterius, menyuruhnya buat datang ke bioskop, dan TARAAA! Lihatlah gue dan Dio yang sedang bermesraan berdua! Cih, otak jahat gue ternyata masih berfungsi aja.
"KAK DIO!" Suara cempreng itu nggak pergi jauh ternyata, gue masih bisa denger dari kursi gue ini. Paling juga cuma Dio yang jalan berlalu lewat depan kelas gue aja. Emang nenek lampir itu alaynya melebihi kealayan gue selama ini.
"Kak Dio kok tumben ke kelas Cantika? Kangen, ya, sama Cantika?" HUEKK!! Makanan di perut gue serasa menolak buat diproses dan memilih buat keluar dari perut gue. Nggak salah denger tuh? Tapi tadi tuh nenek lampir bilang apa? Dio di kelas gue?
Lah, bener aja, itu cowok keren satu sama sahabatnya, Jodi, sedang menengok-nengok ke dalam kelas gue. Gue yakin, si Jodi mau nyariin Luna buat ngajakin makan siang bareng dan Dio paling cuma nemenin sahabatnya itu doang.
"Nih, titipan dari Mama. Katanya lo suruh habisin itu makanan." Gue menatap Dio dengan pandangan senggak ngerti yang gue punya. Kalian harus tahu apa tanggapannya. Dia senyum!
Uhuk! Uhuk! Uhuk!
Tetiba gue keselek setelah lihat pemandangan weird yang pernah gue lihat selama gue di SMA. "Pelan-pelan makanya kalau makan!" Ini apaan sih? Gue lagi mimpi, ya? Gue pasti ketiduran waktu pelajarannya Pak Hendra.
Plak! Gue tampar pipi Dio. Serasa nyata, man! Dan gue mendengar jeritan kesakitannya. Eh, beneran?
"Lo kenapa sih? Dibaik-baikin malah nampar?" GUE MASIH NGGAK PERCAYA DENGAN SEMUA INI. SEMUANYA TERASA SEPERTI MIMPI. Maafkan kealayan gue kumat lagi.
"Sorry! Gue kira lo cuma bohongan. Gue kan hafal tabiat lo!" Eh, gue ngemeng apaan sih? Dan yang nggak gue duga, dia malah ketawa terbahak-bahak.
"Ahahaha! Lo itu lucu banget deh, Ge. Udah ah, becandanya. Ini Mama tadi bilang suruh kasih ke elo dan gue mau ngingetin lo, jangan lupa nanti sore gue jemput jam 5 ya. Dimakan gih!" Katanya sambil mengusap rambut gue.
Mama, maafkan Gea yang mua, Ma. Gea nggak bisa nggak teriak dalam hati, Gea senang banget sampai rasanya kayak lagi bungee jumping di tebih pantai!
Hai! Gue kembali dengan cerita gue. Oh ya, buat kalian yang punya wattpad dan lebih nyaman bacanya di wattpad, gue juga post di wattpad loh. Uname gue: @bedwinare_ . Dan, by the way, gue belum selesai UN, masih 2 hari lagi. Curcol dikit ya, UNnya bocor booo! Gue kecewa berat, tapi ya udah, jalanin aja deh ya. Doakan gue dapet nilai bagus dan keterima SNMPTN ya, readers!
Cheers,
Writer
0 comments:
Post a Comment